Kerasnya jakarta, kata ini mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita atau dalam obrolan kita sehari-hari kita sering mendengarnya sebagai ungkapan kekecewaan mereka yang hidup dan mencari rezeki di kota besar ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak orang-orang yang sudah menjadi korban dari kerasnya kota ini, kota yang menjadi ibu dari kota-kota dinegri ini, Kota yang menjadi pusat pemerintahan negri ini, kota yang dipenuhi oleh beragam suku, budaya, agama, dan profesi yang berbeda-beda dari berbagai kalangan, entah kaya atau miskin. Jakarta, kota yang selalu dipenuhi dengan kekerasan, persaingan, kebohongan dan kemunafikan para pemimpinnya yang sebagian besar dari mereka hanya memperkaya diri dan memikirkan kepentingannya saja, dengan memanfaatkan kerasnya jakarta.
Jakarta, kota yang memiliki daya tarik bagi para prantau dari kota-kota kecil untuk mencari pekerjaan yang mungkin bisa menopang kebutuhan hidup mereka yang merantau di kota besar ini, Namun tak sedikit pula dari mereka yang ingin mengadu nasib di kota besar ini hanya bermodalkan nekat dan niat, pada akhirnya tidak jarang pula dari mereka yang kemudian justru terjerumus dalam jurang kegelapan, jurang kehancuran, jurang yang penuh dengan kehitaman, jurang yang sesak dengan jeritan duka dan tangisan jiwa yang setiap saat selalu terdengar oleh telinga hati. Tidak jarang pula sering kita jumpai banyak dari para perantau yang gagal mewujudkan mimpinya ditengah persaingan dan kerasnya kehidupan dijakarta serta kebutuhan hidup yang semakin mendesak banyak dari mereka yang akhirnya memutar otak, dan merubah cara berfikir serta prinsipnya untuk menyesuaikan diri ditengah lingkungan barunya, ada pula dari mereka yang mempunyai prinsip “ora malu, ora mangan” (gak malu gak makan) dan dengan terpaksa memutuskan urat malu-malunya dengan menjadi pengemis, pengamen, pengasong, bahkan ada pula yang menjadi penipu, pencopet, jambret, dll itu semua dilakukan atas dasar dorongan perut dan bertahan hidup ditengah kerasnya persaingan di kota besar ini, dan pada akhirnya diCAP menjadi sampah masyarakat kota ini, ditambah lagi dengan nilai pengangguran yang setiap tahunnya selalu bertambah dan bertambah yang berawal dari persaingan dan kerasnya kota jakarta serta kegagalan mimpi yang tak terbeli. Tidak sulit bagi kita melihat pemandangan yang mungkin tidak asing dimata kita, di terminal, lampu merah, halte bus, dan trotoar dipinggiran kota ini yang menjadi tempat tinggal dan lahan untuk mencari nafkah bagi para pengamen, pengemis, dan pengasong, bahkan para pencopet dan penjambret serta para pelaku kriminal lainnya yang awalnya menjadi korban persaingan kerasnya kota jakarta dan mendorong mereka untuk berbuat nekat. Lalu dimanakah peran pemerintah dan para pemimpin kita (khususnya kota ini)..?, apakah mereka sedang sibuk meracik dan merencanakan sesuatu untuk mereka yang telah menjadi sampah masyarakat..?. Bahkan kita sering mendengar dan melihat mereka hanya ditangkap, didata (dimintai keterangan) dan dilepaskan kembali kemudian ditangkap, didata lagi dan melepaskannya kembali tanpa pembekalan yang cukup untuk menjamin mereka agar tidak lagi kembali kejalan dimana mereka menjadi sampah masyarakat dan sasaran petugas terkait. Bahkan yang lebih tragis dan sangat meyedihkan sekali, mereka justru di manfaatkan untuk dijadikan objek projek demi kepentingan bisnis yang dapat menarik keuntung materi suatu produk atau lembaga yang tidak bertanggung jawab. Dalam syair-syair lagu musisi ternama “maestro” IWAN FALS yang menurut sebagian masyarakat lagu-lagunya mewakili suara hati rakyat yang terpendam, banyak menuliskan tentang kenyataan yang sering sekali dijumpai selama ini, salah satunya yaitu dengan lagu berjudul “pijar matahari dan kontrasmu bisu” yang menceritakan tentang begitu dekat dan banyaknya “gembel” (orang yg tidak beruntung dan bergantung dikota ini bahkan tidak mempunyai tempat tinggal yang layak), di kota besar ini dan menceritakan mereka yang melihat kenyataan ini lalu bersikap seolah tidak pernah melihat dan mengetahuinya bahkan seakan tidak peduli, pada kenyataannya mereka pasti melihatnya dan megetahui kenyataan tersebut, lagu ini segaligus kritikan untuk pemimpin atau pemerintah yang berperan menangani masalah ini dan bagi mereka yang berpura-pura tidak mengetahui kenyataan ini.
"Pijar Matahari"
Terhimpit gelak tertawa,
Disela meriah pesta
Seribu gembel ikut bernyanyi,
Seribu gembel terus bernyanyi
Keras melebihi lagu tuk berdansa
Keras melebihi glegar halilintar,
Yang ganas menyambar
Ku yakin pasti terlihat
Dansa mereka begitu dekat
Ku yakin pasti terdengar
Suara mereka yang hingar-bingar
Seolah kita tidak mau mengerti
Seolah kita tidak pernah peduli
Pura buta dan pura tuli
Mari kita hentikan dan samarkah
Dengan member pijar matahari
Terhimpit gedung-gedung tinggi
Wajah murung yang hamper mati
Biarkan mereka iri wajar bila mencaci maki
Nafas terasa sesak bagai terkeana asma
Langkah merangkak denyut jantung kera berdetak
Tiap detik sepertinya hitam
Tak sanggup aku melihat
Lukamu kawan dicumbu lalat
Tak kuat aku mendengar
Jeritmu kawan melebihi dentun meriam 6x
cipt: Iwan Fals
Kontrasmu Bisu (Jakarta)
Tinggi pohon tinggi terderet setia lindungi
Hijau rumput hijau tersebar indah sekali
Terasa damai kehidupan dikampungku
Kokok ayam jago bangunkanku setiap pagi
Tinggi gedung tinggi terderet setia lindungi
Gubuk-gubuk liar tersebar dipinggir kali
Terlihat jelas kepincangan kota ini
Tangis bocah lapar bangunkanku dari mimpi malam
Lihat dan dengarlah riuh lagu dalam pesta
Diatas derita mereka masih bisa tertawa
Memang kuakui kejamnya kota Jakarta
Namun yang ku saksikan lebih dari yang ku banyangkan
Jakarta….wo,oh jakarta
Kau tampar siapa saja saudara ku yang lemah
Manjakan mereka yang hidup dalam kemewahan
Jakarta....wo,oh jakarta
Sikaya bertambah gila dengan harta kekayaannya
Luka si miskin semakin menganga
Jakarta….wo,oh jakarta
Diammu buahkan tanya bisu dalam kekontrasanmu
cipt: Iwan Fals
Penulis tidak bermaksud untuk meremehkan kinerja pemerintah serta menjatuhkan atau mengucilkan suatu perusahan dan lembaga apapun, penulis hanya menyampaikan apa yang pernah didengar dari orang-orang yang mengalaminya dan dari penglihatan penulis sendiri tentang kenyataan ini. Namun penulis yakin, masih banyak orang-orang yang berhati mulia dan perusahaan serta lembaga-lembaga yang benar-benar tulus memperhatikan dan mengurus ketidak beruntungan mereka. Lagi-lagi penulis hanya ingin menyampaikan kepada semua orang khususnya mereka yang melihat hanya dari sudut pandang mobil-mobil mewah yang dikawal oleh pengawal-pengawal pribadi mereka, layar TV, rumah yang mewah, rungan ber-AC yang mereka rasakan setiap hari, tanpa pernah merasakan apa yang dialami oleh saudara-saudara kita, adik-adik kita dan teman-teman kita yang berada diluar sana, yang mengais rezeki diteriknya panas sang surya, bernyanyi dan berteriak dengan suara lantang hingga terpaksa memutuskan urat malu-malunya demi mengumpulkan kepingan-kepingan rupiah dan sebungkus nasi. -Wassalam-